Pimpinan Ponpes Tersangka Kekerasan Seksual, minta Dihukum Berat

Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar. (Foto: Dokumen Kemen PPPA)

Jakarta l HukumKriminal.com – Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Nahar, mengatakan Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) di Kecamatan Sikur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, yang menjadi tersangka kasus kekerasan seksual agar dihukum berat.

“Tersangka LMI (43) dan HSN (50) telah melakukan kekerasan seksual terhadap 41 santri dalam rentang waktu hingga tahun 2023 dan tiga korban di antaranya telah membuat laporan polisi,” kata Nahar, Rabu (24/5/2023) di Jakarta.

Menurut Nahar, berpedoman pada UU Nomor 17 Tahun 2016 dan UU Nomor 12 Tahun 2012, KemenPPPA mendorong aparat penegak hukum agar memproses kasus ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hak-hak korban dapat dipenuhi.

“Saat ini, keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Polres Lombok Timur,” kata Nahar.

Kasus dengan modus janji masuk surga melalui pengajian sek* ini, kata Nahar, merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, yang tidak dapat ditolerir dan patut dihukum berat.

Bahkan, pelaku dengan keji melakukan kekerasan seksual persetubuhan dengan korban yang berusia 16-17 tahun.

Pelaku, adalah pendidik di bidang keagamaan yang seharusnya melindungi anak dan menuntun anak pada perbuatan yang baik dan benar.

“Dalam kasus ini, pelaku justru melanggarnya dengan melakukan kekerasan seksual kepada anak didiknya,” kata Nahar.

Bila perbuatan tersangka memenuhi unsur Pasal 76D UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pelaku benar sebagai pengasuh atau pendidik anak, dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan, korbannya lebih dari satu orang, dan perbuatannya dilakukan berulang. Maka, kata Nahar, pelaku terancam sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Ayat (1), (2), (3), (5), (6), dan (7) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.

“Hukuman maksimal yang menanti tersangka dapat berupa pidana mati, seumur hidup, dan atau dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, serta diberikan tindakan kebiri, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik,” kata Nahar.

KemenPPPA berharap penegakan hukum kasus ini juga menggunakan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

“Di mana hak-hak korban atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan juga dapat diberikan, termasuk hak untuk mendapatkan restitusi sebagai korban kekerasan seksual,” kata Nahar. (Erfa)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *