Skandal 12 Juta Bisa Tangkap Lepas Kasus Narkoba di Polres Mojokerto Berkedok Rehab Al Kholiqi

Mojokerto | Publik mencium aroma tidak sedap dengan adanya kabar terkait dugaan tangkap lepas kasus Narkoba didalam naungan Polres Kabupaten Mojokerto.

Ironisnya, korban inisial WD’ warga Desa Kauman, Bangsal, Mojokerto, diduga pelaku pengguna Narkoba diamankan pada hari Sabtu tanggal 13 September 2025. kemudian, dibebaskan pada hari Kamis tanggal 18 September 2025, lantaran berkedok rawat jalan dengan bayar sejumlah 12 juta melalui Yayasan Pondok pecandu Narkoba Al Kholiqi di Desa Kajeksan, Kec.Tulangan Sidoarjo.

Dari keterangan Orang tua WD’ (narasumber) yang didapatkan Media RadarbangsaTv menyampaikan bahwa anaknya pernah ditangkap oleh pihak Anggota Satresnarkoba Polres Kabupaten Mojokerto lalu di bawah ke rumah rehab Yayasan Pondok Pecandu Narkoba Al Kholiqi.

> “anak saya itu sebelum ditangkap bermainan layang-layang, terus anak saya dibawah lalu diajak di SPBU disuruh telpon teman-temannya yang memakai Narkoba.”ujarnya

Lebih jauh, orang tua WD’ mengatakan bahwa tidak anaknya saja yang ditangkap dan dimintai uang tebusan melainkan ada 7 orang teman dari WD’ tersebut.

> “pokoknya ada 8 orang pak yang ditangkap dan termasuk anak saya. awalnya untuk nebus anak saya minta 15 juta dan saya negoh turun menjadi 12 juta.”tambahnya demikian.

Mirisnya Hukum di Negeri Konoha, tajam kebawah dan tumpul keatas. adanya praktik tangkap lepas kasus Narkoba yang kini merajalela sehingga menjadi sorotan publik dan perbincangan Masyarakat sekitar.

Sementara itu, Yayasan Pondok Pecandu Narkoba Al Kholiqi di Desa Kajeksan, Tulangan Sidoarjo, yang berdiri untuk menetralis pasien pemakai Narkoba agar bisa sembuh, terkesan dibuat ajang bisnis Pungutan Liar diduga tidak sesuai Standart Operting Prosedure (SOP), kongkalikong dengan pihak Kepolisian Polres Kabupaten Mojokerto.

Bidpropam Polda Jawa Timur dan Badan Narkotika Nasional (BNN) Sidoarjo, wajib tahu untuk menindak tegas adanya dugaan praktik kotor yang diduga dilakukan oleh kelompok oknum Satresnarkoba Polisi Polres Kabupaten Mojokerto yang bekerjasama dengan Yayasan Pondok Pecandu Narkoba Al Kholiqi.

Membuat yayasan sebagai ajang pungutan liar (pungli) adalah tindakan ilegal dan merupakan penyalahgunaan kepercayaan masyarakat. Praktik ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti contoh penyelewengan dana donasi atau pungutan paksa di lembaga pendidikan swasta.

Ombudsman RI dan Satgas Saber Pungli soroti dan akan menindak tegas untuk bisa membubarkan dan pencabutan izin apabila ada Yayasan yang membuat dugaan praktik kotor Pungli untuk menguntungkan pribadi dan merugikan orang lain melalui pengadilan setempat.

Praktik pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh yayasan dapat dijerat berbagai sanksi, baik bagi yayasan itu sendiri maupun pengurusnya. Sanksi ini diatur dalam undang-undang terkait yayasan dan tindak pidana lainnya.

Berikut adalah sanksi-sanksi yang dapat dikenakan pada yayasan yang terlibat pungli.

Sanksi pidana :

Pengurus yayasan dapat dipenjara dan didenda: Apabila pengurus yayasan terbukti melakukan pungli, mereka dapat dijerat hukuman penjara dan denda sesuai dengan ketentuan pidana yang berlaku, seperti Pasal 368 KUHP tentang pemerasan dengan ancaman hukuman maksimal 9 tahun.

Wajib mengembalikan kekayaan yayasan: Selain pidana penjara, pengurus juga wajib mengembalikan uang, barang, atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan secara tidak sah. Hal ini diatur dalam Pasal 70 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

Sanksi berlapis: Pengurus yayasan dapat dijerat dengan Pasal 70 ayat (1) UU Yayasan dengan pidana penjara paling lama 5 tahun jika terbukti mengambil keuntungan atau gaji dari yayasan.

Sanksi bagi Anggota Polri yang Melanggar Kode Etik
Setiap anggota Polri yang melakukan pelanggaran dalam hal ini, akan dikenakan sanksi Kode Etik Profesi sesuai takaran tingkat ringan atau berat pelanggarannya.

Kemudian, hal tersebut juga diatur dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2003 tentang Peraturan disiplin Anggota Kepolisian Negara Indonesia yang menjelaskan bahwa, setiap anggota Polri yang melakukan pelanggaran disiplin dapat dijatuhkan sanksi disiplin berupa tindakan dan atau hukuman disiplin.

Melakukan pelanggaran disiplin adalah perbuatan yang tidak tercermin dalam institusi kepolisian serta melanggar prinsip dan tujuan anggota Polri. Hal ini dikarenakan Polri tersebut tidak menjalankan tugas secara profesional, proporsional, dan prosedural.

Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 Komisi Kode Etik Profesi (KKEP), anggota Polri dilarang:

1. Melakukan, memerintahkan atau turut serta melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan/atau gratifikasi.

2. Mengambil keputusan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan karena pengaruh keluarga, sesame anggota Polri Nasional atau pihak ketiga.

3. Mengemukakan dan/atau menolak perintah dinas dalam konteks pemeriksaan internal Kepolisian yang dijalankan oleh tim fungsi pengawasan mengenai laporan aduan.

4. Setiap anggota Polri yang melakukan pelanggaran dalam hal ini, akan dikenakan sanksi Kode Etik Profesi sesuai takaran tingkat ringan atau berat pelanggarannya.

Menyalahgunakan kuasa dalam menjalankan tugas :

Ketentuan ini merupakan suatu pedoman bagi anggota Polri dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Setiap anggota Polri yang melakukan pelanggaran dalam hal ini, akan dikenakan sanksi Kode Etik Profesi sesuai takaran tingkat ringan atau berat pelanggarannya.

Pemberian sanksi akan diberikan dengan disidangkan melalui sidang KKEP. Namun, jika pelanggaran yang dilakukan termasuk dalam pelanggaran berat maupun ringan dan dilakukan terus menerus atau berulang kali, maka oknum tersebut dapat dijatuhi pemberhentian tidak dengan hormat.

Merujuk pada Pasal 21 ayat (1), setidaknya terdapat 7 sanksi bagi anggota Polri yang dinyatakan telah melakukan pelanggaran, yaitu:

1. Perilaku melanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela

2. Kewajiban pelanggar untuk meminta maaf secara lisan dihadapan sidang KKEP atau secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan.

3. Kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi, sekurang-kurangnya satu minggu dan paling lama satu bulan.

4. Di pindah tugas ke jabatan berbeda yang bersifat demosi sekurang-kurangnya satu tahun.

5. Di pindah tugas ke fungsi berbeda yang bersifat demosi sekurang-kurangnya satu tahun.

6. Di pindah tugas ke wilayah berbeda yang bersifat demosi sekurang-kurangnya satu tahun

7. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai anggota Polri.

Anggota Polri yang melanggar, secara langsung telah menyalahi peraturan yang telah mengikat yaitu kode etik profesi dan peraturan kedisiplinan. Maka, anggota Polri yang melanggar tersebut akan diproses secara hukum yang berlaku melalui sidang kode etik untuk penjatuhan sanksi administratif dan peradilan umum untuk penjatuhan sanksi pidana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *