Supriyanto (ilyas) Ketua Umum Lembaga Suwdaya Masyarakat (LSM) Generasi Muda Indonesia Cerdas Anti Korupsi (GMICAK) Angkat Bicara, Polisi seharusnya tau Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang menyatakan bahwa perusahaan leasing maupun kuasanya tidak berhak melakukan eksekusi objek jaminan fidusia secara sepihak.
Bojonegoro | Nasib miris dialami seorang warga Desa Lengkong, Kecamatan Balen, Kabupaten Bojonegoro, berinisial K (48). Setelah truk yang ia kendarai dirampas secara paksa dan dirinya dikeroyok sekelompok oknum debt collector, kini K justru ditetapkan sebagai terlapor oleh pihak yang mengeroyoknya.
Kasus ini ditangani oleh Polres Bojonegoro dengan dugaan pelanggaran Pasal 352 KUHP tentang penganiayaan ringan. Ironisnya, korban kekerasan itu kini diwajibkan lapor ke polisi setiap Senin dan Kamis, sampai proses hukum selesai.
Kepada awak media, K mengaku masih mengalami trauma berat atas insiden pengeroyokan yang dialaminya.
“Hari ini pertama kali saya wajib lapor ke Polres. Padahal saya ini korban pengeroyokan, kok malah dijadikan terlapor. Saat dipukul ramai-ramai, saya hanya berusaha melawan agar bisa lepas, tapi sekarang justru dianggap melakukan penganiayaan. Rasanya sungguh tidak adil,” keluh K dengan nada kecewa, Senin (25/8/2025).
Menurutnya, dalam kejadian itu ia tidak mungkin melakukan perlawanan sekuat tenaga karena tangan dan kakinya dipegangi oleh para pelaku.
Selain itu Kuasa hukum korban, Mohammad Khoirul Fuad, S.H., menegaskan bahwa tindakan para debt collector tersebut jelas melanggar hukum.
Ia mengingatkan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang menyatakan bahwa perusahaan leasing maupun kuasanya tidak berhak melakukan eksekusi objek jaminan fidusia secara sepihak.
“Debt collector tidak bisa seenaknya menarik kendaraan debitur di jalan. Proses eksekusi hanya bisa dilakukan melalui mekanisme hukum, bukan dengan kekerasan. Putusan MK ini sifatnya final dan mengikat, sehingga sudah seharusnya penegak hukum menindak tegas aksi-aksi perampasan kendaraan seperti ini,” tegas Fuad.
Dirinya menambahkan, apabila ada keterlambatan cicilan, pihak leasing wajib menempuh jalur pengadilan untuk melakukan penarikan barang, bukan dengan main hakim sendiri.
Kasus ini menuai sorotan publik, sebab memperlihatkan potret ketidakadilan yang menimpa masyarakat kecil. Seorang korban kekerasan dan perampasan justru berbalik menjadi tersangka, sementara oknum debt collector yang melakukan tindakan melawan hukum terkesan lebih dilindungi.
Situasi ini semakin menambah panjang daftar persoalan klasik antara masyarakat dengan praktik penarikan kendaraan bermotor oleh debt collector, yang hingga kini masih sering menimbulkan polemik di lapangan. (Hs/Red*)