Sidoarjo | 3 Mei 2025 — Wajah penegakan hukum kembali tercoreng. Kali ini, institusi Polresta Sidoarjo diguncang isu serius: dugaan praktik suap dan penyalahgunaan prosedur rehabilitasi oleh oknum anggota Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba). Seorang tersangka penyalahgunaan narkotika jenis sabu, berinisial RF alias Ald, diduga “dibebaskan” dari proses hukum setelah keluarganya menyerahkan uang sebesar Rp25 juta kepada oknum Lembaga Majapahit untuk diserahkan ke APH. Yang lebih memprihatinkan, pelepasan tersangka itu dibungkus dengan dalih “rehabilitasi” yang janggal dan tidak transparan.
Kronologi Kasus: Dari Penangkapan hingga Pembebasan Misterius, Pada 20 April 2025, tim Reserse Narkoba Polresta Sidoarjo menangkap tiga tersangka pengguna sabu di sebuah rumah kos di wilayah Kota Sidoarjo. Salah satunya adalah RF alias Ald, warga Kabupaten Ngawi. Namun, hanya tujuh hari setelah penangkapan, RF dinyatakan bebas tanpa penetapan tersangka maupun pelimpahan berkas ke kejaksaan.
Informasi internal menyebutkan adanya permintaan uang tebusan hingga Rp70 juta Per kepala untuk “mengamankan” kasus agar bisa bebas.dalam negosiasi sepakat deal dari keluarga RF “20juta” disuruh menunggu dalam satu minggu setelah itu Keluarga RF akhirnya diminta untuk menyerahkan uang tunai sebesar Rp25 juta kepada oknum lembaga majapahit (perantara)untuk diserahkan keAPH “ucap BD.
Dalih yang digunakan? Rehabilitasi sukarela di lembaga swasta bernama Majapahit.
Modus Berkedok Rehabilitasi: Langgar Aturan, Tutupi Dugaan Suap
Penggunaan jalur rehabilitasi sebagai tameng untuk menghindari proses hukum bukan hanya cacat prosedur, tapi juga melawan hukum. Dalam wawancara pada 2 Mei 2025, seorang narasumber bernama Galih menyatakan, “Pelakunya direhab, mas. Kan nggak papa. TAT itu bayar. Mosok yo nggak bayar?”
Pernyataan ini membuka indikasi adanya pemungutan biaya tak sah, yang bertentangan dengan:
> Pasal 55 Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang menyebutkan bahwa pengguna narkotika dapat menjalani rehabilitasi, namun harus melalui asesmen tim terpadu dan penetapan resmi penyidik atau pengadilan.
Lebih lanjut, rehabilitasi di IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor) sesuai PP No. 25 Tahun 2011 adalah bebas biaya, karena seluruh pembiayaan ditanggung negara. Maka, pungutan Rp25 juta untuk “jalan damai” jelas merupakan tindakan pidana.
Unsur Pidana: Jelas dan Berlapis
Jika terbukti, tindakan ini memuat pelanggaran serius dari sisi hukum, baik terhadap oknum aparat maupun tersangka.
Bagi Oknum Polisi:
1. Pasal 12 Huruf e UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi
“Setiap pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, diancam penjara seumur hidup atau 4–20 tahun dan denda Rp200 juta–Rp1 miliar.”
2. Pasal 368 KUHP (Pemerasan)
“Barang siapa dengan ancaman memaksa seseorang memberikan sesuatu, diancam pidana penjara hingga 9 tahun.”
3. Pasal 221 KUHP (Menyembunyikan Kejahatan)
“Barang siapa yang menutupi tindak pidana agar pelakunya tidak ditindak, diancam pidana penjara hingga 9 bulan.”
4. Pasal 421 KUHP (Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat)
“Pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksa seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu, diancam penjara maksimal 2 tahun 8 bulan.”
Bagi Tersangka:
1. Pasal 127 Ayat (1) Huruf a UU No. 35 Tahun 2009
“Setiap penyalahguna narkotika golongan I untuk diri sendiri diancam pidana penjara maksimal 4 tahun.”
2. Pasal 112 Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009
“Menyimpan atau menguasai narkotika golongan I diancam penjara 4–12 tahun dan denda hingga Rp8 miliar.”
Citra Institusi Dipertaruhkan: Polresta Sidoarjo Wajib Transparan
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi Polresta Sidoarjo. Publik menuntut transparansi dan tindakan tegas terhadap setiap oknum yang menyalahgunakan seragam dan kewenangan. Lembaga rehabilitasi pun harus diaudit—jangan sampai menjadi alat pencucian nama dan tempat “jual beli keadilan.”
Desakan Publik: Bersihkan Polri dari Mafia Berseragam : Kini saatnya Propam Polri dan Polda Jawa Timur bertindak. Tak boleh ada perlindungan terhadap pelaku di balik institusi. Penegakan hukum harus menyentuh semua pihak, tanpa pandang bulu.
> “Negara tidak boleh tunduk pada mafia hukum berseragam. Hukum harus tegak lurus—tanpa suap, tanpa manipulasi. Jika institusi ingin dipercaya, bersihkan dirinya terlebih dahulu.” (Tim)